Belakangan, saya membaca cukup banyak artikel yang bermunculan bertajuk kekerasan dalam berhubungan, dimana korban mayoritasnya adalah wanita. Memang, pria dan wanita tidak sama, mengingat banyak perbedaan fundamental dari segi peran sosial, biologis, dan bahkan budaya. Tapi, tidak berarti satu jender memiliki posisi yang lebih tinggi, dan bisa berprilaku tidak adil seperti menindas dan melakukan tindakan kekerasan. Sayang sekali, walau Indonesia semakin maju isu kekerasan dalam hubungan romantis (atau kekerasan rumah tangga) masih marak terjadi.
Memang benar banyak pihak yang memperjuangkan untuk eradikasi isu kekerasan ini. Namun, hanya secuil yang benar-benar memahaminya. Yayasan Pulih dan Komnas Perempuan adalah dua badan yang saya lihat benar-benar memahami dan memiliki strategi valid untuk melakukannya.
Namun, jelas mereka saja tidak cukup. Begitu juga dengan berteriak maraknya budaya patriarki di media sosial. Apalagi papan iklan di jalan yang hanya bertuliskan “Stop kekerasan terhadap perempuan” di berbagai daerah. Yang dibutuhkan, menurut hemat saya adalah langkah konkret dan usaha pemahaman terhadap isu serta solusi yang memadai.
Bagaimana caranya kita sebagai anggota masyarakat bisa memberikan solusi memadai? Dalam konten ini, saya akan berbagi sedikit tentang apa yang saya ketahui soal kekerasan dalam rumah tangga, yang umumnya disalahpahami atau jarang diketahui orang.
Kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh budaya patriarki, benarkah?
Berbicara seluruh populasi yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga tingkat tinggi, jawabannya benar. Namun, kita tidak bisa semata-mata menyalahkan semua kaum laki-laki. Bukan berarti tidak ada yang bersalah di antara mereka, tapi bila kita mulai mereduksi permasalahan yang serius dan luas ini ke dalam satu faktor–laki-laki dan bengisnya kerajaan mereka–maka kita sama saja dengan orang yang tidak peduli isu ini. Pasalnya, kekerasan dalam rumah tangga itu bersifat multi-penyebab. Budaya tentu berpengaruh di dalamnya (lebih banyak soal ini di poin selanjutnya).
Dari faktor yang cakupannya lebih kecil. Individu calon pemukul istri/pacar umumnya datang dari keluarga yang tidak sehat: bisa jadi ia menyaksikan keluarganya saling bertengkar dan memukul, bisa juga ia diajarkan oleh orangtuanya bahwa seorang ayah/kakek/kakak laki-laki sebaiknya tidak dilawan. Kemudian ke cakupan yang lebih luas, lingkungan sekolah tidak pernah membawa isu persamaan derajat perempuan dan laki-laki yang dibahas dengan baik. Feminisme dan rasa hormat antar jenis kelamin jika baru diajarkan ketika sudah di bangku kuliah, ya sudah terlambat!
Begitu juga ketika sudah berkeluarga dan dewasa nanti. Apa yang terjadi ketika kita mendengar tetangga kita melakukan kekerasan domestik? Untuk pertama kalinya mungkin kita mengintip dan mengetuk pintu. Apabila terjadi berkali-kali? Seberapa sering anggota masyarakat yang lebih tua meminta kita untuk tidak ikut campur urusan keluarga orang lain, bahkan ketika yang menjadi korban adalah keluarga dan teman kita sendiri?
Justru kekerasan dalam rumah tangga umumnya dipengaruhi oleh status ekonomi, tingkat pendidikan, jauhnya dari perkotaan, kentalnya budaya tradisional dan religi di sekeliling masyarakat. Pengetahuan masyarakat tentang hal ini juga sangat berpengaruh.
Kalau bukan Patriarki, budaya apa yang berpengaruh?
Setelah membaca jurnal-jurnal terkait budaya di Indonesia dan kaitannya dengan kekerasan dalam rumah tangga, saya menemukan bahwa banyak sekali budaya tradisional di Indonesia yang mendukung (atau tidak menentang kekerasan terhadap perempuan). Terutama di tempat yang lebih jauh dari perkotaan, budaya-budaya ini masih sangat kental diikuti.
Apa itu ‘Kekerasan’ yang sesungguhnya?
Kekerasan yang sesungguhnya dalam pikiran banyak orang adalah ketika ada yang terluka, masuk rumah sakit, dan meninggal. Hanya saat itulah kebanyakan orang bisa prihatin, memberikan doa dan apabila ada video, bisa menjadi viral dan dikomentari banyak orang.
Namun, kekerasan yang dialami jauh lebih banyak! Data riset Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada tahun 2017 jumlah tindakan kekerasan yang menimpa perempuan mencapai 348.446 kasus (bandingkan saja dengan jumlah perempuan di Indonesia). Di lain sisi, Badan Pusat Statistik mengestimasikan, selama 12 bulan terakhir setidaknya ada 1 dari 10 perempuan dengan rentang usia 15 hingga 64 tahun menjadi korban kekerasan. Sepuluh persen wanita! 348 ribu tersebut hanya kasus terlapor, bukan jumlah kasus sebenarnya.
Bahkan data tersebut masih belum menghitung kekerasan ekonomi, kekerasan verbal, dan kekerasan psikologis yang jauh, jauh, lebih sering dilakukan. Kekerasan ekonomi bisa berupa kontrol berlebih terhadap pendapatan dan pengeluaran uang (menyalahkan istri ketika pengeluaran terlalu besar, atau mencari kerja tambahan). Kekerasan verbal bisa berupa cacian dan marah yang berlebihan. Kekerasan psikologis umumnya berupa ancaman, menyalahkan, bermain dengan emosi, dan mempermalukan di depan umum.
Coba pikir kembali, pernahkah kamu atau orang di dekatmu mengalami hal-hal ini? Apabila iya, maka kemungkinan besar itu adalah kekerasan domestik.
Orang-orang di sekitar justru memiliki peran paling besar!
Banyak sekali yang berpendapat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan tanggung jawab pemerintah dan instansi. Pelaku perlu ditangkap dan direhabilitasi, dan korban perlu menjalani konseling, perlindungan, atau menerima bantuan lainnya. Namun, jarang sekali berpikir bahwa mencegahnya itu lebih mudah!
Sudah terlambat ketika pasca terjadinya kekerasan domestik baru kita memberikan bantuan. Semua yang terjadi akan terulang lagi. Akan berbeda halnya ketika kita melakukan pencegahan, sebelum atau bahkan saat kekerasan sedang terjadi.
Namun, kita sering terpengaruh dengan yang namanya bystander effect. Ketika seseorang mengalami kekerasan, semakin banyak yang menyaksikan/menyadari, maka semakin kecil kemungkinan ada yang membantu. Semuanya tidak ingin ikut campur. Padahal, dengan semudah berteriak meminta tolong atau menghentikan, kita dapat mencegah pelaku untuk melakukan tindakan kekerasan. Dengan memanggil bala bantuan sekitar atau menjauhkan korban dari pelaku, akan menurunkan dengan drastis kemungkinan pelaku melampiaskan amarahnya. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian.
Bayangkan, ambulans selalu akan hadir lebih telat dari yang memanggilnya. Begitu juga dengan polisi yang mengejar pelaku. Belum lagi mengantri di rumah sakit atau kantor kepolisian. Tentu memakan waktu yang lebih lama.
Tidak bermaksud untuk mengecilkan peran aparat dan tenaga medis, namun justru salah satu permasalahan terbesar terletak pada masyarakat yang belum sadar akan pentingnya peran individual. Terletak juga pada kita yang melihat masalah dari satu faset dan sisi saja. Apabila kita mengatribusikan masalah hanya pada satu alasan (dan terutama alasan itu sesuatu yang sangat besar dan kompleks seperti budaya), maka mudah bagi kita untuk menjadi bystander atau pengamat yang bisa melepas tanggung jawabnya.
Padahal sebenarnya, kita–masyarakat dan orang-orang paling dekat dengan korban–yang paling bisa membantu korban ketika berhadapan dengan pelaku. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Sumber:
Powell, A. (2011). Review of Bystander Approaches in Support of Preventing Violience Against Women. Victorian Health Promotion Foundation (VicHealth).
Mustari, A. (2016). Perempuan Dalam Struktur Sosial Dan Kultur Hukum Bugis Makassar. Al-‘Adl, 9(1), 127-146.
Komnas Perempuan. (2018). CATATAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN TAHUN 2017(1st ed., Vol. 1, Ser. 1, pp. 28-40, Rep.). Jakarta, DKI Jakarta: Komnas Perempuan. Retrieved March 18, 2018, from https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2018.
Aisyah, S., & Parker, L. (2014). Problematic conjugations: Women’s agency, marriage and domestic violence in Indonesia. Asian Studies Review, 38(2), 205-223.
[…] seperti inilah yang patut diingat, direfleksikan, dan diperbaiki. Khususnya untuk KDRT, bisa dibaca di sini untuk diskusi lebih […]