Kesehatan Mental Remaja

Memahami Problematika Kesehatan Mental Remaja dan Dewasa Muda

Satu pandangan yang cukup berbahaya dan dangkal terhadap problematika kesehatan mental adalah menganggap isu tersebut sebagai ‘gangguan’ yang bersifat sekunder. Artinya, sering sekali melihat permasalahan tersebut sebagai permasalahan yang tidak penting. Hal ini terutama dikarenakan oleh sifat gangguan mental yang lebih mudah disembunyikan dan tidak selalu tampak jelas dari luar, atau dampaknya yang tidak terlalu terasa secara langsung.

Akan tetapi, jangan salah paham. Gangguan mental memiliki kategori dan spektrum yang luas, artinya banyak sekali jenis dan tingkatannya. Berbeda kelompok, berbeda situasi, dan berbeda status sosio-ekonomi, berbeda pula kerentanan terhadapnya.

Dalam artikel ini, kita akan memfokuskan pembahasan pada salah satu kelompok masyarakat yang paling rentang terhadap isu kesehatan mental, yaitu kelompok remaja dan dewasa muda yang berjumlah sekitar 40% dari populasi Indonesia.

Artikel ini bukan bermaksud menguliahi pembaca (seperti artikel ilmiah atau fact sheet tentang betapa besarnya isu kesehatan mental untuk remaja, melainkan justru mengajak pembaca untuk berdiskusi dan memicu rasa ingin tahu lebih banyak.

Sebenarnya, seberapa marak gangguan mental yang melanda remaja Indonesia?

Kesehatan Mental Remaja
Sumber: Baca

Di negara maju, prevalensi problematika kesehatan mental tercatat dengan baik, sehingga berapa banyak populasi yang mengalami gangguan kesehatan mental bisa diestimasi dengan akurat. Berbeda dengan di Indonesia, sayangnya, karena tingkat kepedulian baik dari masyarakat umum maupun pemerintah masih tergolong rendah, orang dengan masalah kejiwaan atau ODMK remaja di Indonesia masih belum terdata dengan jelas.

Apa akibatnya? Akibatnya yang paling terlihat jelas adalah baru munculnya minat yang relatif lebih tinggi dalam 2-3 tahun belakangan ini terhadap isu tersebut. Pembaca yang sering menonton dan membaca berita mungkin baru belakang ini lebih banyak mendengar banyak kasus terlapor seperti remaja bunuh diri, lari dari rumah, berita tentang depresi, dan berita lainnya. Tapi jumlah sebenarnya ibarat gunung es, hanya kelihatan saja yang terlapor, padahal sangat banyak kasus yang tidak muncul di pemberitaan.

Media sosial dan gangguan kesehatan mental

Kesehatan Mental Remaja

Bukan berarti gangguan kesehatan mental hanya ada baru-baru ini, atau marak belakangan, melainkan merupakan wabah yang ada semenjak dulu dan mempengaruhi banyak orang. Hanya saja, salah satu faktor pemberitaan yang lebih vokal belakangan ini dikarenakan munculnya banyak organisasi dan komunitas yang peduli kesehatan mental, seperti ibunda.id dan Into The Light Indonesia lebih marak. Kampanye dan pemberitaan pun menjadi lebih mudah dan marak dengan hadirnya penetrasi internet dan media sosial yang lebih tinggi dibandingkan dekade sebelumnya.

Banyak orang dan ilmuwan amatir mungkin juga akan langsung mengaitkan isu-isu kesehatan mental ini dengan munculnya media sosial. Isu bahwa media sosial sebagai pemicu depresi, bullying, isolasi dan tentunya adiksi sering kita dengar. Di mana-mana apabila perbincangan ini dilakukan oleh orang awam terutama orang tua, seringkali muncul pendapat bahwa media sosial membawa pengaruh buruk bagi anak, sehingga apapun penyimpangan yang terjadi, akan dengan mudah menjadikan media sosial menjadi kambing hitamnya.

Namun, jangan langsung mengambil kesimpulan. Justru penelitian sudah menunjukkan bahwa hal-hal tersebut merupakan mitos. Adiksi dan bullying misalnya, merupakan hal yang cukup relatif dalam definisinya. Dikatakan relatif karena bullying dan adiksi tidak didefinisikan secara sama oleh para pelaku, korban, dan otoritas yang menyelidikinya (orangtua, guru, pemerintah, dan pakar). Dengan kata lain, berbeda orang berbeda pula mendefinisikannya.

Percaya atau tidak, bullying itu akan selalu ada. Media sosial dan cyber hanyalah salah satu perantaranya. Isolasi dan adiksi juga pasti ada pemicunya. Mengapa remaja ‘lari’ ke media sosial yang bersifat virtual? Kebosanan dan negativitas yang dirasakan dari lingkungan ‘asli’-nya bisa saja menjadi pemicu utamanya.

Justru ketika kita menelaah lebih dalam, banyak sekali situs, aplikasi, laman facebook, akun Instagram, thread Twitter yang menawarkan bantuan dan wadah support group terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental, yang kebanyakan partisipannya adalah remaja. Di sini, saya tidak bermaksud membela media sosial atau bahkan mengatakan media sosial itu baik untuk kesehatan mental.

Jadi, apa permasalahan utamanya?

Kesehatan Mental Remaja
Sumber: Intervention Services, Inc.

Poin utama saya menjelaskan ini semua adalah satu: bahwa selama ini mayoritas orang salah kaprah terhadap gangguan kesehatan mental. Kita terlalu fokus pada medium perantara seperti media sosial, games, internet, televisi, dan sebagainya. Padahal, seharusnya yang perlu kita fokuskan adalah (calon) korbannya itu sendiri.

Mudah sekali bagi masyarakat untuk menyalahkan hal-hal asing/baru (seperti video game bertajuk kekerasan, tren musik baru, dan bahkan hal-hal supernatural) atas terjadinya isu kesehatan mental, dan melupakan peran diri sendiri terhadap permasalahan tersebut. Di Indonesia, tidak jarang film-film, games genre tertentu serta makhluk/kekuatan gaib dibilang sebagai penyebab munculnya permasalahan psikologis, ketimbang pola asuh, beban tuntutan yang diberikan, yang salah dan terlampau berat.

Sebenarnya, masalah utamanya di sini bukan apa penyebabnya, namun apa yang tidak mencegah dan bahkan seolah-olah membiarkan permasalahan tersebut kerap muncul. Kunci jawabannya terletak pada kepedulian. Kepedulian kita sebagai anggota keluarga, teman, dan masyarakat pada umumnya terhadap isu, korban, dan calon korban, terutama remaja

Peduli tidak berarti harus menjadi ilmuwan psikologi. Peduli bisa sesederhana mengubah sikap, pola pikir, dan pendekatan terhadap isu ini. Peduli bisa sesederhana gesture bertanya. Misalnya, sebagai orangtua, bila mendengar ada kasus bunuh diri, cyberbullying, atau pengaruh smartphone dan media sosial di portal berita atau grup Whatsapp, jangan langsung menggerakkan insting utamanya untuk menghentikan atau melimitasi penggunaannya secara tiba-tiba.

Sama juga dengan orangtua yang mungkin khawatir karena anaknya belakangan semakin murung, tidak bisa tidur, dan mengurangi komunikasi secara drastis. Walau tiga hal tersebut merupakan beberapa pertanda depresi, menjauhkan anak dari mungkin apa yang menjadi hiburan satu-satunya seperti games dan gawai bukan merupakan solusi. Bisa-bisa jarak dan dinding yang dibangun akan lebih besar, karena dari sisi mereka tidak bisa melihat usaha kita dalam memahami dan menyelesaikan permasalahannya. Intinya, jangan segera mengambil tindakan yang hanya dirasakan benar oleh orangtua semata. Tetapi juga berusaha untuk memahami situasi dan kondisi individu yang mengalaminya.

Bagaimana kita bisa memahami isu gangguan kesehatan dengan benar

Kesehatan Mental Remaja
Sumber: NIDA for Teens

Melainkan, cobalah bertanya dan benar-benar berusaha memahami apa yang dirasakan oleh anak/remaja. Pertanyaan sederhana tentang bagaimana pertemanan atau sekolah, atau berbicara topik-topik lain yang tidak berpusat pada dirinya merupakan awal mula yang baik. Ceritakan suatu hal tentang diri anda semasa seusianya. Ajak berdiskusi tentang topik yang ia sukai. Tanya pendapatnya, dekatkan diri dan usahakan untuk menghabiskan waktu dengannya. Tanpa menghakimi.

Seberapa banyak orang yang anda kenal melakukan pendekatan ini? Berapa banyak pula yang merasa dirinya sudah cukup sibuk dan stres untuk menghadapi perilaku anak yang tidak disukai oleh dirinya? Menganggap remaja sudah waktunya menjadi orang yang lebih pengertian dan tidak membebani orang tua. Menganggap ini hanya sebuah fase pada remaja zaman sekarang, kemudian membiarkannya, karena sebentar lagi akan lewat.

Langkah pertama kita sebagai orang beruntung yang tidak mengalami gangguan kesehatan mental adalah memahami bahwa gangguan kesehatan mental, terutama pada remaja merupakan hal yang kompleks dan bersifat jangka panjang. Depresi tidak hanya sekedar merasa sedih dan moody, gangguan kecemasan tidak sama dengan rasa gelisah di perut ketika ingin lomba atau tampil di panggung, dan gangguan kepribadian tentu berbeda sekali dengan sifat pembangkang, tantrum, dan skizofrenia. Oleh karena itu, jangan dianggap sepele.

Gangguan kesehatan mental (disorder) umumnya dicirikan oleh adanya disfungsional (gangguan) individual dalam kehidupannya dalam jangka waktu tertentu (Kring, 2013), serta gangguannya bukan hanya berasal dari pengaruh fisik atau biologis saja (virus, bakteri, atau cacat fisik). Dengan kalimat lain, fungsi kehidupannya ada yang terganggu. Kehidupan perkuliahan, pekerjaan, pertemanan, dan keluarga dapat terganggu.

Menghadapinya apalagi, tentu perlu kesabaran yang tinggi dan pendekatan yang berbeda. Namanya gangguan, tentu tidak sejalan dengan apa yang kita anggap biasa. Sehingga tidak bisa diselesaikan dengan solusi yang seperti biasanya, seperti menghukum atau mengalienasi anak ketika melakukan suatu hal yang tidak sesuai aturan (tidak menyapa, menjawab orangtua/guru dengan tidak antusias dan kesal, dsb). Kuncinya baik dalam memahami dan menangani adalah kedekatan dan waktu. Bila tidak memiliki atau merasakan dua hal tersebut, gangguan kemungkinan besar akan semakin buruk.

Alasannya, gangguan kesehatan mental merupakan unik sifatnya terhadap setiap individu. Sehingga pemahaman yang diperoleh dari berita, artikel, dan buku saja tidak cukup. Itulah sebabnya perlu ada kedekatan dengan individu yang mengalaminya dalam upaya memahami.

Apabila anda merasa kurang cakap dan tidak mempunyai kapasitas, jangan khawatir. Anda sudah melakukan hal yang benar dalam mengakuinya.

Lantas, apa yang sebaiknya diperbuat?

Kesehatan Mental Remaja
Bila anda mencurigai kenalan, sahabat, anak, ataupun kolega yang mengalami gangguan kesehatan mental (baik ringan maupun berat) dan anda merasa tidak bisa membantunya, segeralah anjurkan atau kenalkan dengan pakar kesehatan mental seperti Psikolog. Dengan begitu, proses untuk meringankan tekanan gangguan tersebut bisa dimulai dengan cepat. Banyak-banyaklah berbincang dengan pakar kesehatan mental untuk kondisinya. Cari tahu apa yang bisa anda lakukan, terlebih dahulu ketimbang apa yang seharusnya dilakukan oleh orang yang mengalami.

Ketahuilah bahwa remaja dan dewasa muda pada umumnya saja akan mengalami fase pencarian identitas diri, gejolak hormon, dan tekanan yang besar dari sekolah, kuliah, dan pekerjaan pertamanya. Tidak mudah bagi mereka untuk menghadapi pikiran negatif, kecemasan berlebihan, dan pikiran-pikiran yang menghantui secara bersamaan. Dukungan adalah hal utama yang mereka perlukan.

Tidak melulu harus bersama dengan pakar. Di luar sana banyak sekali hasil riset, video pakar kesehatan mental, grup online/pertemuan untuk orang dengan gangguan kesehatan (begitu juga dengan orangtua/guru dengan anak murid dengan kesehatan mental) yang bisa ditelusuri. Tidak ada salahnya untuk mencari tahu lebih banyak untuk pendekatan anda sendiri, bukan?


Kembali lagi, tidak seperti virus yang bisa disembuhkan begitu saja dengan obat atau vaksin. Gangguan kesehatan mental dengan berjuta perisa dan bentuk tidak bisa hilang begitu saja. Itulah prinsip utamanya yang tidak diketahui banyak orang. “Perang” terhadapnya membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang panjang. Pada akhirnya, mengatasi atau tidaknya (baik untuk pemerintah, orangtua, guru, dan orang orang terdekat) kembali lagi kepada pertanyaan, apakah anda cukup peduli?

Sumber:
Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. C., & Neale, J. M. (2013). Abnormal psychology. Singapore: Wiley.

Share the article

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *