Saya, kamu, siapa aja yang punya pasangan pasti punya perbedaan, pasti punya konflik. Dengan diri sendiri aja bisa konflik, apalagi sama orang yang berbeda dengan kita! Bertengkar merupakan momen make or break dalam suatu hubungan. Apabila tidak ditangani dengan baik, pertengkaran kecil bisa menjadi besar, pertengkaran besar berakibat putus!
Tidak, di sini kita tidak akan membahas bagaimana cara menghindarinya. Karena pertengkaran itu juga bisa datang tiba-tiba. Terlalu banyak faktor X yang bisa menyebabkan pertengkaran. Di sini, saya ingin berbagi sedikit pengalaman tentang apa yang tidak boleh dilakukan ketika bertengkar agar masalah cepat dan lebih baik terselesaikan!
Siapa lawan siapa sih, sebenarnya?
Namanya bertengkar, manusia sering kali kembali ke insting masa kecilnya: menghindari yang namanya disalahkan. Kalau bukan mau benar secara total, maunya jadi yang paling sedikit salahnya! Seberapa sering sih kamu mendengar pasangan saling salah-salahan?
“Kalau bukan karena kamu, aku ga bakal …”, “aku masih mending cuma, kalau kamu? Lebih parah lagi, blablabla”
Kebetulan, pria dan wanita sama saja dalam keseringan mengutarakan kalimat ini. Siapa sih yang mencatat skor sebenarnya? Apakah ini lomba, siapa yang paling sedikit poinnya menang? Atau siapa yang lebih jago membenarkan diri, menang? Banyak sekali pasangan yang kalau dihadapkan dengan konfrontasi menganggapnya personal, sehingga dengan mudah langsung bersikap defensive, artinya merasa terserang/tertantang!
Masalah itu ada, dan selalu akan ada. Sebenarnya, yang perlu dilawan itu adalah masalah, bukan sesama. Pasangan kamu kan bukan saingan. Hubungan kalian kan bukan sebuah kompetisi.
Mungkin pertengkaran dimulai dari komplain terhadap kebiasaan tertentu (tidak langsung cuci piring setelah makan), rasa tidak senang dengan calon keluarga (si dia nggak suka sama camer), atau bahkan hal kecil lainnya seperti terlambat nonton. Tapi lebih produktif mana:
Ngatain si pasangan dengan sarkas, atau ajak cuci piring bareng untuk membangun kebiasaan?
Balas komplain kakaknya yang juga ngeselin, atau usaha dekatkan dirinya dengan orangtuamu?
Marah dan ‘capek’ sama keterlambatan dia, atau pikirkan cara biar kedepannya lebih tepat waktu?
Ingat, yang jadi permasalahan hampir selalu bukan pasangan kamu (pribadinya), melainkan hal yang bisa dikontrol dan diubah! So, kenapa kalian nggak berperilaku layaknya satu tim untuk hadapin masalah bersama, daripada saling marah-marah dan nuntut-nuntut maksa?
Komunikasi tiba-tiba berubah drastis
Masih menyambung sedikit soal pasangan yang suka buru-buru membela diri/menyerang kembali. Hal yang pantang dilakukan adalah mengubah gaya komunikasimu secara drastis.
Sederhananya, ketika bertengkar, kontrol pita suaramu. Jangan tiba-tiba berteriak, marah, dan tantrum seperti anak kecil yang direbut dotnya. Tidak peduli seberapa ‘tersakiti’ atau ‘marah’ kamu. Ketika mengalami konflik, sebaiknya tidak melakukan hal tersebut.
Kenapa?
Bukan hanya tidak menyelesaikan masalah, ketika kamu melakukan hal tersebut, kamu sudah menorehkan tampang yang sangat tidak menyenangkan bagi pasangan. Tergantung usia kalian, ia bisa jijik, menganggapmu sebagai anak-anak (tidak lagi sebaya), marah balik, diam, dan pergi.
Tidak baik untuk kamu juga, karena banyak hal yang tiba-tiba bisa keluar karena dorongan untuk ‘mendominasi’ lewat suara. Kata-kata yang tidak kamu maksud. Terakhir, apalagi kalau di depan umum. Tidak hanya bikin kamu malu, tapi bikin dia juga malu. Apakah kamu benar-benar berharap dia akan menyadari seberapa salah dan meminta maaf tersedu-sedu dengan kamu berteriak?
Sebaliknya, jangan juga diam! Langsung memberikan silent treatment sama parahnya. Karena, terkadang akan memicu frustasi pada orang yang merasa tidak ada komunikasi dua arah. Dengan diam, kamu tidak menganggap diri orang tersebut ada, bahkan penting. Diam menunjukkan kamu tidak peduli, dan tidak ingin menyelesaikan masalah.
Sebaiknya, yang perlu dilakukan adalah tetap ngobrol ketika pasangan teriak atau diam. Dengan begini, kamu selalu akan menjadi yang lebih dewasa, ‘pemimpin’ dalam pertengkaran, kunci menyelesaikan konflik. Tidak akan ada salahnya kalau kamu melawan teriakan dan diam dengan komunikasi masalah dengan nada biasa, tenang, dan pelan.
Kata yang paling harus dihindari
Nah ini nih, penyakit banyak pasangan. Terutama pasangan yang malas dan tidak ingin berjuang! Ada satu kata yang sering kali diutarakan yang bisa bikin tambah marah, tambah parah, dan tambah nggak betah.
Terserah!
Terserah kamu, terserah aku, terserah ini, terserah itu. Kata ini lebih parah daripada teriak maupun diam. Setidaknya ketika dua hal itu terjadi, masih ada kesempatan untuk membalas dan mengklarifikasi.
Namun, apabila kata terserah muncul, maka sebenarnya yang kamu katakan adalah pasanganmu tidak ada lagi ruang gerak dan berbicara, serta apa yang dilakukan tidak lagi penting untukmu.
Terserah juga berarti kamu menutup pembicaraan dan tidak peduli dengannya. Terserah di sini juga berarti sarkas, karena kamu tidak benar-benar menyerahkan semua keputusan padanya.
Apabila dilakukan terlalu sering, maka terserah tidak hanya akan membuatnya semakin frustasi, namun menjauhkan dirimu dengannya. Pasalnya, sulit sekali untuk tidak memikirkan bahwa pasangan kita adalah orang yang tidak ingin kompromi, keras kepala, karena keseringan terserah.
Lantas, apa yang bisa dilakukan selain ngomong terserah? Apabila pasangan sedang keras kepala, maka diamkan terlebih dahulu. Coba gali apa yang menjadi sumber keras kepalanya. Tawarkan alternatif. Again, masalah itu untuk kalian berdua, bukan hanya untuk kamu dan dia.
Itu hanya beberapa don’ts yang patut dihindari oleh kalian yang punya pasangan. Tentu, masih banyak hal lainnya yang bisa kita bahas, tapi mungkin di lain waktu. Intinya, sebelum pertengkaran berlangsung lebih parah, ingatlah setidaknya 3 hal di atas. Namanya juga berpasangan, pasti ingin selama mungkin. Apabila masih sering lawan-lawanan, teriak-teriakan, diem-dieman, dan terserah-terserahan, apa mungkin bertahan jangka panjang?